Friday, September 7, 2007

The most wanted

2 comments:

ABU IBRAHIM said...

DIALOG ANTAR AGAMA

Berdakwah kepada orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam, adalah perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT atas kaum muslimin. Tugas ini telah mereka laksanakan selama 14 abad. Tak henti-hentinya mereka mengajak orang-orang non-Islam untuk masuk Islam, baik golongan Ahli Kitab maupun golongan lainnya. Allah SWT berfirman :

أُدْعُ إِلى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنْ ...
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
(An-Nahl 125)

Rasulullah SAW bersabda dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius, Raja Romawi :

فَإِنِّيْ أَدْعُوْكَ بِدِعَايَةِ اْلإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ اْلأَرِيْسِيِّيْنَ …
“...Sesungguhnya aku berseru kepadamu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu niscaya kamu akan selamat! Allah akan memberikan dua pahala kepadamu. Tapi jika kamu berpaling maka kamu menanggung dosa para petani (rakyatmu)...”
(HR. Bukhari)

Jelaslah, bahwa dakwah kita kepada kepada orang-orang non-Islam, adalah dakwah untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran.
Adapun ide dialog antar agama yang ramai dijaja-kan saat ini, adalah ide dari Barat yang sangat keji lagi sangat asing. Tidak ada asal usulnya dalam Islam, sebab ide ini menyerukan untuk mencari titik temu bersama di antara agama-agama. Bahkan ide tersebut menyerukan untuk membentuk agama baru yang sengaja direka-reka agar kaum muslimin memeluknya sebagai ganti agama Islam, karena penganut ide ini dan para propagandisnya adalah orang-orang Barat yang kafir.
Ide ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama Al-Azhar (Kairo) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 yang dihadiri oleh para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-Agama Sedunia tahun 1936 merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II yang telah membuat sibuk negara-negara Eropa untuk menyelenggarakan konferensi-konferensi serupa.
Pada tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Alasan Dialog Antara Kaum Muslimin dan Kaum Kristiani.”
Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antara peradaban. Yang paling menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia, yang dihadiri oleh 400 delegasi dari beraneka agama yang berbeda-beda, dan Kon-ferensi Cordoba di Spanyol yang dihadiri oleh delegasi-delegasi muslim dan Kristen dari 23 negara. Kedua konferensi ini diselenggarakan tahun 1974. Kemudian diselenggarakan pula Pertemuan Islam-Kristen di Carthage di Tunisia tahun 1979.
Pada dekade akhir abad ini para propagandis dialog antar agama bergiat mengadakan Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania, yang disusul dengan Konferensi Khartoum untuk Dialog Antar Agama tahun 1994. Pada tahun 1995 diadakan dua konferensi untuk dialog antar agama, yang pertama di Stockholm, dan yang kedua di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi Islam dan Eropa di Universitas Aalul Bait (Yordania) tahun 1996.

Justifikasi Dialog Antar Agama
Justifikasi terpenting yang diajukan para peserta konferensi di berbagai konferensi antar agama, adalah untuk membendung kekufuran dan ateisme yang terwujud dalam negara Uni Soviet sebelum negara ini runtuh. Sebab, Komunisme dipandang sebagai ajaran ateis yang mengancam agama-agama samawi termasuk prestasi-prestasi peradabannya. Justifikasi lainnya, adalah adanya keprihatinan terhadap umat manusia dan pembelaan terhadap orang-orang beriman di muka bumi. Justifikasi lainnya lagi, adalah perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran, sebab kebenaran harus tunduk pada kaidah demokrasi, yaitu pendapat mayoritas merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Rekomendasi-Rekomendasi Peserta Konferensi
Rekomendasi terpenting dari konferensi-konferensi yang diselenggarakan atas nama dialog antar agama dan antar peradaban, serta dialog antara Islam dan Eropa, adalah sebagai berikut :
Perlu dicari makna-makna dan dimensi-dimensi baru untuk kata “kufur”, “ateis”, “syirik”, “iman”, “islam”, “moderat”, “ekstrem”, dan “fundamentalisme” sedemikian rupa, sehingga kata-kata itu tidak menjadi faktor pemecah-belah di antara penganut-penganut agama.

Perlu dicari titik-temu dari ketiga agama, yang meliputi aspek aqidah, akhlaq, dan budaya, untuk menegaskan adanya titik-temu positif di antara berbagai agama dan peradaban, sebab semua Ahli Kitab adalah orang-orang beriman yang sama-sama menyembah Allah.

Perlu adanya piagam bersama hak-hak asasi manu-sia, untuk memantapkan perdamaian dan pola hidup berdampingan secara damai di antara penganut agama-agama. Hal ini dilakukan dengan cara meng-hilangkan perasaan akan adanya batas-batas prinsipil antar agama, dan dengan menghilangkan persepsi permusuhan dalam budaya berbagai bangsa dan politik berbagai negara.

Perlu dilakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan, agar jauh dari hal-hal yang dapat mem-bangkitkan kemarahan dan kebencian, serta meng-anggap bahwa pengajaran agama adalah bagian dari kajian humaniora yang mendasar, yang ditujukan untuk membentuk kepribadian yang terbuka dengan berbagai kebudayaan umat manusia serta mau memahami agama lain. Karena itu, wajib dijauhkan beberapa pembahasan tertentu dalam aqidah dan ibadah.

Perlu adanya perhatian pada pembahasan tema-tema tertentu dan menetapkan persepsi yang mempersatukan pada tema-tema tersebut. Tema-tema tersebut adalah: “keadilan”, “perdamaian”, “wanita”, “hak asasi manusia”, “demokrasi”, “etos kerja”, “pluralisme”, “kebebasan”, “perdamaian dunia”, “hidup berdampingan secara damai”, “keterbukaan peradaban”, “masyarakat madani” (civil society), dan sebagainya.

Sarana dan Cara Dialog Antar Agama
Setelah orang-orang Barat yang kafir gagal men-jauhkan kaum muslimin dari aqidah mereka melalui para misionaris dan orientalis, beraneka literatur dan jurnal kebudayaan, serta manipulasi ideologi, politik, dan media, mereka beralih pada lembaga-lembaga resmi di negara-negara mereka dan negara-negara agen-agen mereka. Mereka mulai mengadakan berbagai konferensi dan seminar, membentuk kelompok-kelompok aksi bersama, dan mendirikan pusat-pusat studi di negeri-negeri mereka ataupun di negeri-negeri Islam, seperti Pusat Studi Islam Universitas Oxford (Inggris), Pusat Studi Timur Tengah Universitas Durham (Inggris), College of Holly Cross (Akademi Salib Suci) di Amerika, Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) di Arab Saudi, Al Majma’ Al Mulki li Buhuutsil Hadlarah Al Islamiyah (Dewan Kerajaan untuk Pengkajian Peradaban Islam), Universitas Aalul Bait (Yordania), Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan lain-lain.
Mereka menggunakan bermacam-macam istilah dan kata yang manis-memikat dengan makna-makna yang tidak jelas untuk menyesatkan dan mengecoh kaum muslimin, seperti “pembaharuan”, “keterbukaan ter-hadap dunia”, “peradaban umat manusia”, “penge-tahuan universal”, “keharusan hidup berdampingan secara damai”, “membuang fanatisme dan ekstremisme”, “globalisasi”, dan lain sebagainya.
Mereka merancukan persepsi tentang ilmu penge-tahuan/sains (‘ilmu) dengan kebudayaan (tsaqafah), serta peradaban (hadlarah) dengan corak kehidupan fisik (madaniyah). Perancuan ini lalu dijadikan landasan untuk menyerang orang-orang yang konsisten dengan pandangan hidupnya yang khas, karena dianggap menentang ilmu pengetahuan dan corak kehidupan fisik yang lahir darinya, serta dicap sebagai golongan yang terbelakang dan tertinggal. Padahal masalahnya menurut Islam tidaklah seperti yang mereka dakwakan. Sebab Islam telah membuka diri terhadap ilmu pengetahuan beserta corak kehidupan fisik yang lahir darinya. Tetapi Islam memang menutup diri terhadap kebudayaan dan peradaban apa pun yang bukan kebudayaan dan peradaban Islam, sebab kebudayaan dan peradaban merupakan pemikiran yang berhu-bungan dengan perilaku manusia yang wajib ditata hanya dengan persepsi Islam tentang kehidupan.
Mereka membagus-baguskan berbagai pemikiran ideologi kapitalisme di hadapan kaum muslimin, serta mempromosikannya sebagai sesuatu yang tidak menya-lahi ajaran Islam. Akibatnya, sebagian kaum muslimin mengira bahwa pemikiran-pemikiran itu berasal dari Islam, seperti pemikiran demokrasi, kebebasan, pluralisme politik, sosialisme, dan lain-lain. Sebaliknya, mereka menyerang sebagian pemikiran Islam dan mensifatinya sebagai sesuatu yang tidak berperadaban dan tidak layak untuk masa sekarang, seperti jihad, hudud, poligami, dan hukum-hukum syara’ lainnya.
Mereka menundukkan kajian terhadap nash-nash ajaran Islam di bawah metode berpikir ideologi kapitalisme, yang menjadi fakta sebagai sumber hukum, bukannya sebagai tempat (objek) penerapan hukum, yang menetapkan kemanfaatan (kemaslahatan) sebagai standar untuk mengambil atau menolak suatu hukum, bukannya standar halal dan haram. Inilah yang mendorong sebagian kaum muslimin untuk menciptakan beberapa kaidah untuk memahami Islam yang sebenarnya tidak ada sandarannya dari nash-nash syara’, seperti fiqhul waaqi’ (penetapan hukum yang bertolak dari fakta dengan mengesampingkan nash syara’), fiqhul muwaazanaat (penetapan hukum berdasarkan pertimbangan manfaat dan mudlarat belaka), adl dlaruuratu tubiihul mahzhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan), dan sebagainya. Hal ini telah mengakibatkan lunturnya sebagian hukum-hukum Islam serta hilangnya batas-batas pembeda antara ajaran yang palsu dan yang asli, antara kufur dan Islam, sehingga akhirnya riba menjadi mubah dan mati syahid dianggap bunuh diri.
Orang-orang kafir yang mengendalikan dialog antar agama itu selalu berupaya untuk memperumum dan memperluas medan dialog, sehingga dialog tidak hanya terbatas pada pada konferensi dan seminar saja, tetapi juga menjangkau seluruh komponen masyarakat; laki-laki dan perempuan, para intelektual dan pegawai/ buruh, yang dilaksanakan melalui jalur-jalur sekolah, perguruan tinggi, lembaga studi, partai politik, dan asosiasi (buruh, pengusaha, pengacara, pedagang, dan lain-lain). Jadi, seperti yang diungkapkan oleh para peserta konferensi, kegiatan ini memang merupakan pengintegrasian diri dengan peradaban Barat dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Ideologi kapitalisme --seperti yang mereka dakwakan-- dengan ide-ide humanisme dan rasio-nalisme, liberalisme, dan demokrasi, dianggap sebagai peradaban modern yang sukses. Adapun Islam, dianggap agama taklid, mengajarkan kediktatoran, dan hanya berkutat pada warisan kebudayaan masa silam. Islam katanya mengajarkan kedaulatan agama, perbudakan, dan poligami. Islam tidak berperadaban!
Di antara teknik pengecohan atas kaum muslimin yang terjadi dalam konferensi-konferensi dialog antar agama, adalah adanya partisipasi peserta-peserta yang beraqidah lain, seperti orang Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, di samping orang Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini terjadi pada Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian di Jepang dan pada sebuah seminar di Beirut (Lebanon) pada tahun 1970. Tujuannya adalah agar kaum muslimin tidak berpraduga bahwa hanya mereka saja yang menjadi sasaran dialog antar agama. Heran, bagaimana mungkin mereka yang disebut ulama kaum muslimin itu menerima begitu saja Islam disetarakan dengan Budha dan agama-agama lain!

Pandangan Barat Yang Hakiki Terhadap Islam
Sesungguhnya pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin dan memimpin berbagai konferensi dialog antar agama itu, memandang Islam dengan pandangan permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antar agama, yang dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Ensiklopedi Kebudayaan Perancis, yang menjadi referensi setiap peneliti, mendeskripsikan Muhammad Rasulullah SAW sebagai; “pembunuh, penculik para wanita, dan musuh terbesar bagi akal umat manusia.” Demikian pula halnya mayoritas literatur akademis di Eropa Barat, yang menjelaskan sifat Rasulullah SAW, Islam, dan kaum muslimin dengan sifat-sifat yang sangat keji.
Sementara itu, dalam buku The End of History karya pemikir Amerika Francis Fukuyama, terdapat sebuah pernyataan, ”Sistem kapitalisme adalah babak penghabisan yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi Islam meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, kapitalisme).”
Sekjen NATO Willie Claise pernah mengatakan, ”Islam fundamentalis adalah bahaya yang mengancam geopolitik masa depan. ”Sedang orientalis Bernard Lewis menyatakan pandangannya tentang Islam dan kapitalisme, ”Keduanya bertentangan satu sama lain. Tak mungkin ada dialog di antara keduanya.” Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, dan direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard berkata, ”Sesungguhnya benturan antar peradaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antar peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antar peradaban.” Dia kemudian mengatakan, ”Agama telah membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah Perancis setengah Arab...Tetapi sangat sulit seseorang menjadi setengah Katholik setengah muslim.”
Jika demikian halnya pandangan Barat yang hakiki, lalu di mana sebenarnya dialog yang mereka serukan kepada kita dengan sikap permusuhannya itu?
Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya --seperti Perang Salib, pembasmian umat Islam di Spanyol, penghancuran Khilafah, lalu pendirian negara Yahudi di Palestina, pemberian predikat terorisme dan ekstrem-isme terhadap Islam dan gerakan-gerakan Islam-- niscaya kita akan dapat memahami target-target dari dialog antar agama yang diadakan oleh Barat yang kafir terhadap kaum muslimin.

Target-Target Dialog Antar Agama
Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh para kapitalis dari dialog antar agama dan antar peradaban itu, adalah menghalang-halangi kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh, sebab sistem ini akan mengancam kelestarian ideologi dan peradaban mereka serta akan dapat memusnahkan segala kepentingan dan pengaruh mereka.
Target-target cabang lainnya untuk merealisasikan target mendasar itu cukup banyak. Misalnya, mereka berusaha untuk mewarnai dunia dengan warna (shibghah) peradaban kapitalisme --utamanya wilayah-wilayah yang menjadi tempat hidup kaum muslimin-- untuk menggantikan peradaban Islam sehingga Barat dapat lebih mudah menghapus Tsaqafah Islamiyah dari benak kaum muslimin. Target ini diupayakan dengan menggoncang kepercayaan kaum muslimin terhadap Tsaqafah Islamiyah beserta sumber-sumber dan asas-asasnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan Islam dari medan pertarungan peradaban dengan mengosongkan Islam dari ciri khas terpenting yang membedakannya dari agama-agama lain --yaitu politik-- yang karenanya wajib didirikan negara Khilafah yang akan mengatur seluruh urusan rakyat sesuai hukum-hukum Islam dan mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia.
Mereka juga berusaha untuk membentuk kepribadian muslim dengan format kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah bila meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha merusak perasaan Islami pada seorang muslim dan membunuh semangat (ghirah) Islam yang ada dalam jiwanya, sehingga muslim tersebut tidak mampu lagi membenci kekufuran dan orang kafir, serta tidak mau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka bermaksud pula melenyapkan ketahanan budaya dalam tubuh umat Islam --yang dengannya dapat ditangkal setiap unsur pemikiran asing-- serta mera-takan barikade-barikade berupa pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang berpotensi mengancam eksistensi peradaban kapitalis di negeri-negeri Islam. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan atas segala pengaruh dan kepentingan mereka dapat berlangsung mudah yang pada gilirannya ini akan dapat menjamin kelestarian dan kesinam-bungan eksistensi mereka.
Dialog antar agama yang direkayasa oleh kaum kafir dan para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi agen mereka, yang didukung oleh kawan-kawan dekat penguasa tersebut dari kalangan ulama dan intelektual, sebenarnya bermaksud untuk menciptakan agama baru kaum muslimin yang didasarkan pada aqidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Padahal aqidah ini menetapkan bahwa membuat hukum adalah hak manusia, bukan hak Allah SWT yang telah menciptakan manusia. Mengenai para perekayasa dialog antar agama itu, Allah SWT telah berfirman :

وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu.”
(Al-Baqarah 217)

Demikian pula Allah SWT berfirman :

وَلَنْ تَرْضى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النًّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”
(Al-Baqarah 120)

Karena peradaban Islam berasaskan Aqidah Islamiyah sementara peradaban kapitalisme berasaskan aqidah kapitalis (pemisahan agama dari kehidupan), maka titik temu di antara keduanya hakikatnya tak mungkin ada. Jadi maksud dialog antar agama yang dipimpin oleh Barat yang kafir itu, adalah agar kaum muslimin melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian digantikan dengan persepsi-persepsi kapitalis, sebab Barat telah mengerti bahwa mengkompromikan dua ideologi yang kontradiktif adalah hal yang mustahil.
Dialog antar agama dan antar peradaban untuk mencari titik temu di antara agama atau peradaban yang ada dan untuk menciptakan sebuah peradaban manusia yang baru, hanyalah sebuah ilusi belaka. Justru yang harus ada adalah pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat diketahui mana yang haq mana yang bathil, mana yang mulia mana yang hina, dan mana yang baik mana yang buruk. Allah SWT berfirman :

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat pada manusia, maka ia tetap di bumi.” (Ar-Ra’d 17)

Dialog antar agama yang diserukan Barat kepada kita, sesungguhnya adalah dialog yang bersifat sepihak. Dialog ini diprakarsai oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam, peradaban Islam, dan umat Islam itu sendiri. Karena itu, kaum muslimin harus mempersiapkan segala sarana pertarungan yang memadai, yang hanya dapat terwujud dengan kembalinya negara Khilafah. Negara Khilafah inilah yang akan terjun langsung ke dalam pertarungan fisik/jihad (ash-shira’ul maadi), di samping pertarungan pemikiran (ash-shira’ul fikri), dalam rangka menyebarluaskan peradaban Islam yang bermutu tinggi dan untuk memusnahkan peradaban kapitalis yang palsu dan bejat.

Perbincangan Tentang Anak-Cucu Nabi Ibrahim AS
Perbincangan ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi dialog antara tiga agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu telah dibawa oleh Nabi Muhammad, Isa, dan Musa AS, yang mempunyai bapak yang satu, yaitu Ibrahim AS. Karena itu, pemeluk ketiga agama itu harus hidup berdampingan secara damai, karena mereka secara agama adalah berasal dari satu keturunan.
Ini dari satu segi. Dari segi lain, perbincangan ini adalah untuk mendukung apa yang disebut “proses perdamaian” dan pembukaan hubungan diplomatik dengan Yahudi, serta melancarkan satu poin di antara poin-poin konspirasi Barat-Yahudi atas Islam dan kaum muslimin, yaitu mencaplok Palestina dan Masjidil Aqsha dan menancapkan pisau beracun dalam dada umat Islam. Juga untuk menjustifikasi kerjasama orang Yahudi, Kristen, dan Islam guna menjalankan otoritas keagamaan dalam pengelolaan kota Yerussalem, yang telah dianggap tempat suci untuk tiga agama. Sebab, orang Yahudi, Kristen, dan Islam katanya adalah orang-orang muslim yang berasal dari agama yang satu, yaitu agama Ibrahim AS, bapak para nabi (Abul Anbiyaa’).
Untuk menjelaskan kekeliruan pemikiran ini sekaligus untuk membantahnya, harus dijelaskan 3 (tiga) poin berikut :

Pertama, Aspek Bahasa. Kata “aslama” di antara makna bahasanya adalah “inqaada” (tunduk, patuh, berserah diri). Al-Quran telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat para nabi itu sebagai orang-orang yang tunduk-patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT telah berfirman melalui perkataan Nabi Nuh AS, nabi sebelum Ibrahim AS:

إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”(Yunus 72)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Nabi Ibrahim dan Isma’il AS :

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَّكَ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (Al-Baqarah 128)

Allah berfirman tentang kaum Nabi Luth AS :

فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
“Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri.”
(Adz-Dzaariyaat 36)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Musa AS:
فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ
“Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang-orang yang berserah diri.”
(Yunus 84)

Allah SWT berfirman melalui perkataan para Hawariyin (pengikut-pengikut setia Nabi Isa AS) :

آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُوْنَ
“Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri.” (Ali Imraan 52)

Dengan demikian, jelas bahwa kata “muslimun” yang terdapat dalam berbagai ayat tersebut maknanya adalah “munqaaduun” (orang-orang yang patuh, tunduk, berserah diri). Jadi bukan berarti mereka itu memeluk agama yang satu, yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW, sebab Islam belum dikenal oleh mereka, disamping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam. Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang khusus bagi mereka. Dan setiap rasul itu menyeru mereka kepada syari’at (aturan) yang khusus. Allah SWT berfirman :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang.”
(Al-Maa`idah 48)

Setelah turunnya wahyu kepada Muhammad SAW, wahyu tersebut telah mengarahkan perhatiannya pada beberapa kata Arab tertentu, lalu memindahkan dari makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, kepada makna syar’i yang dijelaskan oleh nash-nash syara’ dari Al-Quran dan As-Sunah. Di antara kata-kata yang telah dipindahkan maknanya ialah kata “Islam”. Makna bahasanya adalah “inqiyaad” (tunduk, patuh, berserah diri). Tetapi makna syar’inya adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Makna ini misalnya terdapat dalam Allah SWT yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari Kiamat :

وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“...dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagi kalian.“ (Al-Maa`idah 3)

Juga dalam firman-Nya :

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imraan 85)

Dan juga dalam sabda Rasulullah SAW :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ …
“Islam dibangun atas dasar lima perkara...”

Sebagaimana diketahui, agama-agama selain Islam tidak dibangun atas dasar lima perkara seperti tersebut dalam hadits.
Setelah pemindahan kepada makna syar’i untuk kata “Islam”, maka semua kata yang berasal dari kata “Islam” --seperti fi’il “aslama”, dan isim fa’il “muslim”-- jika diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), berarti yang dimaksud adalah makna syar’inya, bukan yang lain. Apabila dimaksudkan untuk menunjukkan makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, diperlukan qarinah yang mengalihkan dari makna syar’inya. Misalnya firman Allah SWT :

مَا كَانَ إِبْرَاهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah).”
(Ali Imraan 67)

Ini tidak berarti bahwa Ibrahim AS adalah penganut agama yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad SAW (agama Islam), tetapi artinya, Ibrahim AS tunduk-patuh (munqaadun) kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya, dan dia bukanlah orang Yahudi atau Nashara yang telah mengubah-ubah agama para nabi mereka.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, Isa, dan Musa telah mengikuti agama Ibrahim, maksudnya adalah mereka itu mengimani aqidah yang sama, yang merupakan dasar (pokok) dari setiap agama yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah SWT :

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ...
“Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu ,’Tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya”
(Asy-Syuura 13)

Jadi agama yang terdapat dalam ayat di atas adalah dasar/pokok agama (ashlud diin), yakni aqidah. Akan tetapi syari’at mereka tidak sama, karena ayat tersebut telah ditakhsis (dikecualikan) oleh firman Allah SWT :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Maa`idah 48)

Kedua, Aspek Hukum Syara’. Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai penutup para nabi kepada seluruh umat manusia, dimana mereka semua dituntut untuk meninggalkan agama-agama mereka --baik samawi maupun bukan-- dan mengambil Islam sebagai agama mereka. Barangsiapa yang memenuhi tuntutan ini, berarti telah masuk Islam, sedang yang tidak memenuhinya, berarti telah kafir. Allah SWT berfirman :

وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَاْلأُمِّيِّيْنَ ءَ أَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ اْلبَلاَغُ وَاللهُ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang yang ummi,’Apakah kalian (mau) masuk Islam)? ’Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hanba-Nya.” (Ali ‘Imraan 20)

Allah SWT berfirman :

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ...
“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad)...” (Al-Bayyinah 1-2)

Jadi, orang-orang Ahli Kitab dan musyrik itu tidak dapat dikatakan meninggalkan kekufuran, kecuali dengan cara masuk Islam, yakni mengikuti agama Muhammad SAW. Selain itu Rasulullah SAW juga pernah bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat manusia ini, baik dia Yahudi maupun Nashrani, lalu dia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka”
(HR. Muslim)

Walhasil, seluruh umat manusia telah diseru untuk memeluk Islam. Siapa saja yang tidak mau memeluk Islam setelah diajukan hujjah baginya, berarti dia secara pasti adalah orang kafir. Orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, jika mereka tetap saja menganut agama mereka masing-masing, maka mereka adalah orang-orang kafir, menurut nash Al-Quran. Haram hukumnya mensifati mereka sebagai muslim. Barang siapa beri’tiqad bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen --serta penganut agama lain selain mereka-- adalah orang-orang muslim, sungguh dia telah kafir. Karena dengan i’tiqadnya itu dia telah mengingkari nash-nash syara’ yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti maknanya). Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.

Ketiga, Perbincangan Tentang Anak-Cucu Ibrahim AS. Sebenarnya perbincangan ini menyeru kepada ikatan kebangsaan (rabithah qaumiyah), yang pada faktanya merupakan ikatan yang emosional dan bermutu rendah, yang lahir dari naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa). Ikatan ini tidak manusiawi, sebab tidak layak untuk menjadi pengikat seorang manusia dengan manusia lain tatkala keduanya berbeda dalam hal asal keturunan (nasab).
Ikatan anak-cucu Nabi Ibrahim AS telah terhapus oleh jaman, tidak ada lagi faktanya dalam kehidupan, sebab orang-orang yang bernasab kepada Ibrahim dan keturunannya telah bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain, dikarenakan hubungan perkawinan, pergaulan, imigrasi, dan peperangan. Maka kini sangat sulit, bahkan mustahil, membedakan mereka dari manusia yang lain. Di samping itu, para pengikut ketiga agama tersebut berasal dari segala bangsa dan suku yang ada di dunia, yang masing-masing telah terintegrasi atas dasar agama, bukan atas dasar asal usul keturunan. Maka dari itu, sebutan “Anak-Cucu Ibrahim” untuk orang-orang Islam, Yahudi, dan Kristen, juga untuk orang-orang yang tinggal di sekitar Masjidil Aqsha atau yang lainnya, adalah sebutan yang gegabah, serampangan, lagipula tidak benar. Maksud sebenarnya adalah untuk memerangi Islam, menjustifikasi proses perdamaian yang dipaksakan, serta meligitimasi pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi yang bercokol di tanah kaum muslimin yang dirampas. Semua ini adalah dalam rangka memberikan legalitas terhadap tindakan kriminal yang sangat menjijikkan yang telah diperbuat oleh para penguasa yang berkhianat atas dasar suruhan para majikan mereka yang kafir.
Ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan (rabithah usriyah), seperti halnya ikatan anak-cucu Ibrahim AS, tidak dibenarkan oleh syara’ untuk dijadikan asas pengaturan interaksi di antara manusia. Allah SWT berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْا حَتّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الفَاسِقِيْنَ
“Katakanlah,’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(At Taubah 24)

Jelaslah bahwa perintah Allah SWT, lebih tinggi kedudukannya daripada ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan, atau aspek kemanfaatan. Allah SWT telah menjelaskan kepada para nabi sebelumnya mengenai lemahnya ikatan-ikatan seperti itu. Allah SWT berfirman:

وَنَادَى نُوْحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ:رَبِّ إِنَّ ابْنِيْ مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ: يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ...
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ’Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ’Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan disela-matkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik” (Huud 45-46)

Allah SWT berfirman mengenai Ibrahim AS :

قَالَ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قاَلَ: لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ
“Allah berfirman, ’Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ’(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ’Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim” (Al-Baqarah 124)

Ayat di atas menerangkan, bahwa anak Nabi Nuh AS dalam pandangan syara’ bukanlah termasuk keluarganya, sebab dia tidak beriman dengan risalah yang diturunkan Allah kepada ayahnya. Demikian pula, orang-orang zhalim dari keturunan Nabi Ibrahim AS dikecualikan dari janji Allah untuk mendapat kepemimpinan, sebab mereka tidak mengikuti risalah yang diturunkan Allah kepada Bapak mereka, Ibrahim AS.
Oleh sebab itu, propaganda ide “Anak-Cucu Ibrahim AS” saat ini sesungguhnya adalah propaganda jahiliyah yang bersifat politis dan sangat tendensius. Haram hukumnya menyerukan dan mempromosikan ide ini, sebab maksud hakiki dari ide itu adalah untuk memerangi Islam, memalingkan kaum muslimin dari agamanya, menjustifikasi proses perdamaian yang khianat dengan Yahudi yang kafir, menyerahkan kepada mereka bumi Palestina yang mereka jarah, mengesahkan hubungan diplomatik dengan mereka, serta menerima eksistensi negara Israel di Timur Tengah.






DIALOG ANTAR AGAMA

Berdakwah kepada orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam, adalah perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT atas kaum muslimin. Tugas ini telah mereka laksanakan selama 14 abad. Tak henti-hentinya mereka mengajak orang-orang non-Islam untuk masuk Islam, baik golongan Ahli Kitab maupun golongan lainnya. Allah SWT berfirman :

أُدْعُ إِلى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنْ ...
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (hujjah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl : 125)

Rasulullah SAW bersabda dalam surat beliau yang ditujukan kepada Heraklius, Raja Romawi :

فَإِنِّيْ أَدْعُوْكَ بِدِعَايَةِ اْلإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ اْلأَرِيْسِيِّيْنَ …
“...Sesungguhnya aku berseru kepadamu dengan seruan Islam; masuk Islam-lah kamu niscaya kamu akan selamat! Allah akan memberikan dua pahala kepadamu. Tapi jika kamu berpaling maka kamu menanggung dosa para petani (rakyatmu)...” (HR. Bukhari)

Jelaslah, bahwa dakwah kita kepada kepada orang-orang non-Islam, adalah dakwah untuk memeluk Islam dan meninggalkan kekufuran.
Adapun ide dialog antar agama yang ramai dijaja-kan saat ini, adalah ide dari Barat yang sangat keji lagi sangat asing. Tidak ada asal usulnya dalam Islam, sebab ide ini menyerukan untuk mencari titik temu bersama di antara agama-agama. Bahkan ide tersebut menyerukan untuk membentuk agama baru yang sengaja direka-reka agar kaum muslimin memeluknya sebagai ganti agama Islam, karena penganut ide ini dan para propagandisnya adalah orang-orang Barat yang kafir.
Ide ini mulai muncul secara internasional pada tahun 1932 tatkala Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan tokok-tokoh ulama Al Azhar (Kairo) mengenai ide penyatuan tiga agama; Islam, Kristen, dan Yahudi. Kegiatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi Paris tahun 1933 yang dihadiri oleh para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas di Inggris, Swiss, Amerika, Italia, Polandia, Spanyol, Turki, dan lain-lain. Konferensi Agama-Agama Sedunia tahun 1936 merupakan konferensi agama terakhir sebelum Perang Dunia II yang telah membuat sibuk negara-negara Eropa untuk menyelenggarakan konferensi-konferensi serupa.
Pada tahun 1964 Paus Paulus VI menulis sebuah risalah yang menyerukan dialog antar agama-agama. Kemudian pada tahun 1969 Vatikan menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Alasan Dialog Antara Kaum Muslimin dan Kaum Kristiani.”
Sepanjang dasawarsa 70-an dan 80-an abad ini, telah diadakan lebih dari 13 pertemuan dan konferensi untuk dialog antar agama dan antara peradaban. Yang paling menonjol adalah Konferensi Dunia II untuk Agama Islam di Belgia, yang dihadiri oleh 400 delegasi dari beraneka agama yang berbeda-beda, dan Kon-ferensi Cordoba di Spanyol yang dihadiri oleh delegasi-delegasi muslim dan Kristen dari 23 negara. Kedua konferensi ini diselenggarakan tahun 1974. Kemudian diselenggarakan pula Pertemuan Islam-Kristen di Carthage di Tunisia tahun 1979.
Pada dekade akhir abad ini para propagandis dialog antar agama bergiat mengadakan Konferensi Dialog Eropa-Arab tahun 1993 di Yordania, yang disusul dengan Konferensi Khartoum untuk Dialog Antar Agama tahun 1994. Pada tahun 1995 diadakan dua konferensi untuk dialog antar agama, yang pertama di Stockholm, dan yang kedua di Amman (Yordania). Kedua konferensi lalu disusul dengan Konferensi Islam dan Eropa di Universitas Aalul Bait (Yordania) tahun 1996.

Justifikasi Dialog Antar Agama
Justifikasi terpenting yang diajukan para peserta konferensi di berbagai konferensi antar agama, adalah untuk membendung kekufuran dan ateisme yang terwujud dalam negara Uni Soviet sebelum negara ini runtuh. Sebab, Komunisme dipandang sebagai ajaran ateis yang mengancam agama-agama samawi termasuk prestasi-prestasi peradabannya. Justifikasi lainnya, adalah adanya keprihatinan terhadap umat manusia dan pembelaan terhadap orang-orang beriman di muka bumi. Justifikasi lainnya lagi, adalah perlunya upaya mencari kebenaran yang harus dipandang relatif (nisbi), sehingga tak boleh seorang pun mengklaim telah memonopoli kebenaran, sebab kebenaran harus tunduk pada kaidah demokrasi, yaitu pendapat mayoritas merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Rekomendasi-Rekomendasi Peserta Konferensi
Rekomendasi terpenting dari konferensi-konfe-rensi yang diselenggarakan atas nama dialog antar agama dan antar peradaban, serta dialog antara Islam dan Eropa, adalah sebagai berikut :

Perlu dicari makna-makna dan dimensi-dimensi baru untuk kata “kufur”, “ateis”, “syirik”, “iman”, “islam”, “moderat”, “ekstrem”, dan “fundamental-isme” sedemikian rupa, sehingga kata-kata itu tidak menjadi faktor pemecah-belah di antara penganut-penganut agama.

Perlu dicari titik-temu dari ketiga agama, yang meliputi aspek aqidah, akhlaq, dan budaya, untuk menegaskan adanya titik-temu positif di antara berbagai agama dan peradaban, sebab semua Ahli Kitab adalah orang-orang beriman yang sama-sama menyembah Allah.

Perlu adanya piagam bersama hak-hak asasi manu-sia, untuk memantapkan perdamaian dan pola hidup berdampingan secara damai di antara penganut agama-agama. Hal ini dilakukan dengan cara meng-hilangkan perasaan akan adanya batas-batas prinsipil antar agama, dan dengan menghilangkan persepsi permusuhan dalam budaya berbagai bangsa dan politik berbagai negara.

Perlu dilakukan rekonstruksi sejarah dan kurikulum pendidikan, agar jauh dari hal-hal yang dapat mem-bangkitkan kemarahan dan kebencian, serta meng-anggap bahwa pengajaran agama adalah bagian dari kajian humaniora yang mendasar, yang ditujukan untuk membentuk kepribadian yang terbuka dengan berbagai kebudayaan umat manusia serta mau memahami agama lain. Karena itu, wajib dijauhkan beberapa pembahasan tertentu dalam aqidah dan ibadah.

Perlu adanya perhatian pada pembahasan tema-tema tertentu dan menetapkan persepsi yang mempersatukan pada tema-tema tersebut. Tema-tema tersebut adalah:“keadilan”, “perdamaian”, “wanita”, “hak asasi manusia”, “demokrasi”, “etos kerja”, “pluralisme”, “kebebasan”, “perdamaian dunia”, “hidup ber-dampingan secara damai”, “keterbukaan peradaban”, “masyarakat madani” (civil society), dan sebagainya.


Sarana dan Cara Dialog Antar Agama
Setelah orang-orang Barat yang kafir gagal men-jauhkan kaum muslimin dari aqidah mereka melalui para misionaris dan orientalis, beraneka literatur dan jurnal kebudayaan, serta manipulasi ideologi, politik, dan media, mereka beralih pada lembaga-lembaga resmi di negara-negara mereka dan negara-negara agen-agen mereka. Mereka mulai mengadakan berbagai konferensi dan seminar, membentuk kelompok-kelompok aksi bersama, dan mendirikan pusat-pusat studi di negeri-negeri mereka ataupun di negeri-negeri Islam, seperti Pusat Studi Islam Universitas Oxford (Inggris), Pusat Studi Timur Tengah Universitas Durham (Inggris), College of Holly Cross (Akademi Salib Suci) di Amerika, Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) di Arab Saudi, Al Majma’ Al Mulki li Buhuutsil Hadlarah Al Islamiyah (Dewan Kerajaan untuk Pengkajian Peradaban Islam), Universitas Aalul Bait (Yordania), Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan lain-lain.
Mereka menggunakan bermacam-macam istilah dan kata yang manis-memikat dengan makna-makna yang tidak jelas untuk menyesatkan dan mengecoh kaum muslimin, seperti “pembaharuan”, “keterbukaan ter-hadap dunia”, “peradaban umat manusia”, “penge-tahuan universal”, “keharusan hidup berdampingan secara damai”, “membuang fanatisme dan ekstrem-isme”, “globalisasi”, dan lain sebagainya.
Mereka merancukan persepsi tentang ilmu penge-tahuan/sains (‘ilmu) dengan kebudayaan (tsaqafah), serta peradaban (hadlarah) dengan corak kehidupan fisik (madaniyah). Perancuan ini lalu dijadikan landasan untuk menyerang orang-orang yang konsisten dengan pandangan hidupnya yang khas, karena dianggap menentang ilmu pengetahuan dan corak kehidupan fisik yang lahir darinya, serta dicap sebagai golongan yang terbelakang dan tertinggal. Padahal masalahnya menurut Islam tidaklah seperti yang mereka dakwakan. Sebab Islam telah membuka diri terhadap ilmu pengetahuan beserta corak kehidupan fisik yang lahir darinya. Tetapi Islam memang menutup diri terhadap kebudayaan dan peradaban apa pun yang bukan kebudayaan dan peradaban Islam, sebab kebudayaan dan peradaban merupakan pemikiran yang berhu-bungan dengan perilaku manusia yang wajib ditata hanya dengan persepsi Islam tentang kehidupan.
Mereka membagus-baguskan berbagai pemikiran ideologi Kapitalisme di hadapan kaum muslimin, serta mempromosikannya sebagai sesuatu yang tidak menya-lahi ajaran Islam. Akibatnya, sebagian kaum muslimin mengira bahwa pemikiran-pemikiran itu berasal dari Islam, seperti pemikiran demokrasi, kebebasan, pluralisme politik, sosialisme, dan lain-lain. Sebaliknya, mereka menyerang sebagian pemikiran Islam dan mensifatinya sebagai sesuatu yang tidak berperadaban dan tidak layak untuk masa sekarang, seperti jihad, hudud, poligami, dan hukum-hukum syara’ lainnya.
Mereka menundukkan kajian terhadap nash-nash ajaran Islam di bawah metode berpikir ideologi Kapitalisme, yang menjadi fakta sebagai sumber hukum, bukannya sebagai tempat (objek) penerapan hukum, yang menetapkan kemanfaatan (kemaslahatan) sebagai standar untuk mengambil atau menolak suatu hukum, bukannya standar halal dan haram. Inilah yang men-dorong sebagian kaum muslimin untuk menciptakan beberapa kaidah untuk memahami Islam yang sebe-narnya tidak ada sandarannya dari nash-nash syara’, seperti fiqhul waaqi’ (penetapan hukum yang bertolak dari fakta dengan mengesampingkan nash syara’), fiqhul muwaazanaat (penetapan hukum berdasarkan pertimbangan manfaat dan mudlarat belaka), adl dlaruuratu tubiihul mahzhuuraat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan), dan sebagai-nya. Hal ini telah mengakibatkan lunturnya sebagian hukum-hukum Islam serta hilangnya batas-batas pembeda antara ajaran yang palsu dan yang asli, antara kufur dan Islam, sehingga akhirnya riba menjadi mubah dan mati syahid dianggap bunuh diri.
Orang-orang kafir yang mengendalikan dialog antar agama itu selalu berupaya untuk memperumum dan memperluas medan dialog, sehingga dialog tidak hanya terbatas pada pada konferensi dan seminar saja, tetapi juga menjangkau seluruh komponen masyarakat; laki-laki dan perempuan, para intelektual dan pegawai/ buruh, yang dilaksanakan melalui jalur-jalur sekolah, perguruan tinggi, lembaga studi, partai politik, dan asosiasi (buruh, pengusaha, pengacara, pedagang, dan lain-lain). Jadi, seperti yang diungkapkan oleh para peserta konferensi, kegiatan ini memang merupakan pengintegrasian diri dengan peradaban Barat dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Ideologi Kapitalisme --seperti yang mereka dakwakan-- dengan ide-ide humanisme dan rasio-nalisme, liberalisme dan demokrasi, dianggap sebagai peradaban modern yang sukses. Adapun Islam, dianggap agama taklid, mengajarkan kediktatoran, dan hanya berkutat pada warisan kebudayaan masa silam. Islam katanya mengajarkan kedaulatan agama, perbudakan, dan poligami. Islam tidak berperadaban!
Di antara teknik pengecohan atas kaum muslimin yang terjadi dalam konferensi-konferensi dialog antar agama, adalah adanya partisipasi peserta-peserta yang beraqidah lain, seperti orang Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, di samping orang Islam, Kristen, dan Yahudi. Ini terjadi pada Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian di Jepang dan pada sebuah seminar di Beirut (Lebanon) pada tahun 1970. Tujuannya adalah agar kaum muslimin tidak berpraduga bahwa hanya mereka saja yang menjadi sasaran dialog antar agama. Heran, bagaimana mungkin mereka yang disebut ulama kaum muslimin itu menerima begitu saja Islam disetarakan dengan Budha dan agama-agama lain!

Pandangan Barat Yang Hakiki Terhadap Islam
Sesungguhnya pihak Barat yang menyerukan dialog dengan kaum muslimin dan memimpin berbagai konferensi dialog antar agama itu, memandang Islam dengan pandangan permusuhan. Pandangan inilah yang menjadi motif bagi dialog antar agama, yang dijadikan dasar untuk mengontrol dan mengatur kegiatan tersebut. Ensiklopedi Kebudayaan Perancis, yang menjadi referensi setiap peneliti, mendeskripsikan Muhammad Rasulullah SAW sebagai; “pembunuh, penculik para wanita, dan musuh terbesar bagi akal umat manusia.” Demikian pula halnya mayoritas literatur akademis di Eropa Barat, yang menjelaskan sifat Rasulullah SAW, Islam, dan kaum muslimin dengan sifat-sifat yang sangat keji.
Sementara itu, dalam buku The End of History karya pemikir Amerika Francis Fukuyama, terdapat sebuah pernyataan, ”Sistem Kapitalisme adalah babak penghabisan yang abadi bagi umat manusia di bumi. Akan tetapi Islam meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesungguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu, Kapitalisme).”
Sekjen NATO Willie Claise pernah mengatakan, ”Islam fundamentalis adalah bahaya yang mengancam geopolitik masa depan. ”Sedang orientalis Bernard Lewis menyatakan pandangannya ten-tang Islam dan Kapitalisme, ”Keduanya bertentangan satu sama lain. Tak mungkin ada dialog di antara keduanya.” Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, dan direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard berkata, ”Sesungguhnya benturan antar peradaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antar peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antar peradaban. ”Dia kemudian mengatakan, ”Agama telah membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah Perancis setengah Arab...Tetapi sangat sulit seseorang menjadi setengah Katholik setengah muslim.”
Jika demikian halnya pandangan Barat yang hakiki, lalu di mana sebenarnya dialog yang mereka serukan kepada kita dengan sikap permusuhannya itu?
Jika berbagai pernyataan di atas dikaitkan dengan berbagai aksi permusuhan yang dilakukan oleh Barat untuk melawan Islam dan umatnya --seperti Perang Salib, pembasmian umat Islam di Spanyol, penghan-curan Khilafah, lalu pendirian negara Yahudi di Palestina, pemberian predikat terorisme dan ekstrem-isme terhadap Islam dan gerakan-gerakan Islam-- niscaya kita akan dapat memahami target-target dari dialog antar agama yang diadakan oleh Barat yang kafir terhadap kaum muslimin.

Target-Target Dialog Antar Agama
Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh para kapitalis dari dialog antar agama dan antar peradaban itu, adalah menghalang-halangi kembalinya Islam ke dalam realitas kehidupan sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh, sebab sistem ini akan mengancam kelestarian ideologi dan peradaban mereka serta akan dapat memusnahkan segala kepen-tingan dan pengaruh mereka.
Target-target cabang lainnya untuk merealisasikan target mendasar itu cukup banyak. Misalnya, mereka berusaha untuk mewarnai dunia dengan warna (shibghah) peradaban Kapitalisme --utamanya wilayah-wilayah yang menjadi tempat hidup kaum muslimin-- untuk menggantikan peradaban Islam sehingga Barat dapat lebih mudah menghapus Tsaqafah Islamiyah dari benak kaum muslimin. Target ini diupayakan dengan menggoncang kepercayaan kaum muslimin terhadap Tsaqafah Islamiyah beserta sumber-sumber dan asas-asasnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan Islam dari medan pertarungan peradaban dengan mengo-songkan Islam dari ciri khas terpenting yang membedakannya dari agama-agama lain --yaitu politik-- yang karenanya wajib didirikan negara Khilafah yang akan mengatur seluruh urusan rakyat sesuai hukum-hukum Islam dan mengemban risalah Islam kepada seluruh manusia.
Mereka juga berusaha untuk membentuk kepri-badian muslim dengan format kepribadian yang baru, yakni pribadi yang tidak akan merasa bersalah bila meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman. Mereka juga berusaha merusak perasaan Islami pada seorang muslim dan membunuh semangat (ghirah) Islam yang ada dalam jiwanya, sehingga muslim tersebut tidak mampu lagi membenci kekufuran dan orang kafir, serta tidak mau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka bermaksud pula melenyapkan ketahanan budaya dalam tubuh umat Islam --yang dengannya dapat ditangkal setiap unsur pemikiran asing-- serta meratakan barikade-barikade berupa pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang berpotensi mengancam eksistensi peradaban kapitalis di negeri-negeri Islam. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan atas segala pengaruh dan kepentingan mereka dapat berlangsung mudah yang pada gilirannya ini akan dapat menjamin kelestarian dan kesinambungan eksistensi mereka.
Dialog antar agama yang direkayasa oleh kaum kafir dan para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi agen mereka, yang didukung oleh kawan-kawan dekat penguasa tersebut dari kalangan ulama dan intelektual, sebenarnya bermaksud untuk menciptakan agama baru kaum muslimin yang didasarkan pada aqidah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Padahal aqidah ini menetapkan bahwa membuat hukum adalah hak manusia, bukan hak Allah SWT yang telah menciptakan manusia. Mengenai para perekayasa dialog antar agama itu, Allah SWT telah berfirman :

وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu.”
(QS Al Baqarah : 217)

Demikian pula Allah SWT berfirman :

وَلَنْ تَرْضى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النًّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”
(QS Al Baqarah : 120)

Karena peradaban Islam berasaskan Aqidah Islamiyah sementara peradaban Kapitalisme berasaskan aqidah kapitalis (pemisahan agama dari kehidupan), maka titik temu di antara keduanya hakikatnya tak mungkin ada. Jadi maksud dialog antar agama yang dipimpin oleh Barat yang kafir itu, adalah agar kaum muslimin melepaskan persepsi-persepsi Islam untuk kemudian digantikan dengan persepsi-persepsi kapi-talis, sebab Barat telah mengerti bahwa mengkom-promikan dua ideologi yang kontradiktif adalah hal yang mustahil.
Dialog antar agama dan antar peradaban untuk mencari titik temu di antara agama atau peradaban yang ada dan untuk menciptakan sebuah peradaban manusia yang baru, hanyalah sebuah ilusi belaka. Justru yang harus ada adalah pertarungan pemikiran (ash shira’ul fikri) di antara berbagai agama dan peradaban, agar dapat diketahui mana yang haq mana yang batil, mana yang mulia mana yang hina, dan mana yang baik mana yang buruk. Allah SWT berfirman :

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat pada manusia, maka ia tetap di bumi.” (QS Ar Ra’d : 17)

Dialog antar agama yang diserukan Barat kepada kita, sesungguhnya adalah dialog yang bersifat sepihak. Dialog ini diprakarsai oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam, peradaban Islam, dan umat Islam itu sendiri. Karena itu, kaum muslimin harus mempersiapkan segala sarana per-tarungan yang memadai, yang hanya dapat terwujud dengan kembalinya negara Khilafah. Negara Khilafah inilah yang akan terjun langsung ke dalam pertarungan fisik/jihad (ash shira’ul maadi), di samping pertarungan pemikiran (ash shira’ul fikri), dalam rangka menyebar-luaskan peradaban Islam yang bermutu tinggi dan untuk memusnahkan peradaban kapitalis yang palsu dan bejat.

Perbincangan Tentang Anak-Cucu Nabi Ibrahim AS
Perbincangan ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi dialog antara tiga agama, dengan anggapan dasar bahwa agama samawi yang tiga itu telah dibawa oleh Nabi Muhammad, Isa, dan Musa AS, yang mem-punyai Bapak yang satu, yaitu Ibrahim AS. Karena itu, pemeluk ketiga agama itu harus hidup berdampingan secara damai, karena mereka secara agama adalah berasal dari satu keturunan.
Ini dari satu segi. Dari segi lain, perbincangan ini adalah untuk mendukung apa yang disebut “proses perdamaian” dan pembukaan hubungan diplomatik dengan Yahudi, serta melancarkan satu poin di antara poin-poin konspirasi Barat-Yahudi atas Islam dan kaum muslimin, yaitu mencaplok Palestina dan Masjidil Aqsha dan menancapkan pisau beracun dalam dada umat Islam. Juga untuk menjustifikasi kerjasama orang Yahudi, Kristen, dan Islam guna menjalankan otoritas keagamaan dalam pengelolaan kota Yerussalem, yang telah dianggap tempat suci untuk tiga agama. Sebab, orang Yahudi, Kristen, dan Islam kata-nya adalah orang-orang muslim yang berasal dari agama yang satu, yaitu agama Ibrahim AS, Bapak para nabi (Abul Anbiyaa`).
Untuk menjelaskan kekeliruan pemikiran ini sekaligus untuk membantahnya, harus dijelaskan 3 (tiga) poin berikut :


Pertama, Aspek Bahasa. Kata “aslama” di antara makna bahasanya adalah “inqaada” (tunduk, patuh, berserah diri). Al Qur`an telah menggunakan makna bahasa ini dalam kisah para nabi dan pemberian sifat para nabi itu sebagai orang-orang yang tunduk-patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT telah berfirman melalui perkataan Nabi Nuh AS, nabi sebelum Ibrahim AS:

إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (QS Yunus : 72)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Nabi Ibrahim dan Isma’il AS :

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَّكَ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS Al Baqarah : 128)

Allah berfirman tentang kaum Nabi Luth AS :

فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
“Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang yang berserah diri.”
(QS Adz Dzaariyaat : 36)

Allah SWT berfirman melalui perkataan Nabi Musa AS:

فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ
“Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang-orang yang berserah diri.”
(QS Yunus : 84)

Allah SWT berfirman melalui perkataan para Hawa-riyin (pengikut-pengikut setia Nabi Isa AS) :

آمَنَّا بِاللهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُوْنَ
“Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menye-rahkan diri.” (QS Ali ‘Imraan : 52)

Dengan demikian, jelas bahwa kata “muslimun” yang terdapat dalam berbagai ayat tersebut maknanya adalah “munqaaduun” (orang-orang yang patuh, tunduk, berserah diri). Jadi bukan berarti mereka itu memeluk agama yang satu, yaitu Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW, sebab Islam belum dikenal oleh mereka, disamping mereka memang belum diperintahkan untuk memeluk Islam. Setiap kaum dari mereka mempunyai seorang rasul yang khusus bagi mereka. Dan setiap rasul itu menyeru mereka kepada syari’at (aturan) yang khusus. Allah SWT berfirman :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang.”
(QS Al Maa`idah : 48)

Setelah turunnya wahyu kepada Muhammad SAW, wahyu tersebut telah mengarahkan perhatiannya pada beberapa kata Arab tertentu, lalu memindahkan dari makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, kepada makna syar’i yang dijelaskan oleh nash-nash syara’ dari Al Qur`an dan As Sunnah. Di antara kata-kata yang telah dipindahkan maknanya ialah kata “Islam”. Makna bahasanya adalah “inqiyaad” (tunduk, patuh, berserah diri). Tetapi makna syar’inya adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Makna ini misalnya terdapat dalam Allah SWT yang ditujukan untuk semua manusia sampai Hari Kiamat :

وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“...dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagi kalian.“
(QS Al Maa`idah : 3)

Juga dalam firman-Nya :

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS Ali ‘Imraan : 85)

Dan juga dalam sabda Rasulullah SAW :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ …
“Islam dibangun atas dasar lima perkara...”

Sebagaimana diketahui, agama-agama selain Islam tidak dibangun atas dasar lima perkara seperti tersebut dalam hadits.
Setelah pemindahan kepada makna syar’i untuk kata “Islam”, maka semua kata yang berasal dari kata “Islam” --seperti fi’il “aslama”, dan isim fa’il “muslim”-- jika diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), berarti yang dimaksud adalah makna syar’inya, bukan yang lain. Apabila dimaksudkan untuk menunjukkan makna bahasa yang dibuat pertama kali untuknya, diperlukan qarinah yang mengalihkan dari makna syar’inya. Misalnya firman Allah SWT :

مَا كَانَ إِبْرَاهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَلاَ نَصْرَانِيًّا وَلكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah).”
(QS Ali ‘Imraan : 67)

Ini tidak berarti bahwa Ibrahim AS adalah penganut agama yang diturunkan oelh Allah kepada Muhammad SAW (agama Islam), tetapi artinya, Ibrahim AS tunduk-patuh (munqaadun) kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya, dan dia bukanlah orang Yahudi atau Nashara yang telah mengubah-ubah agama para nabi mereka.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad, Isa, dan Musa telah mengikuti agama Ibrahim, maksudnya adalah mereka itu mengimani aqidah yang sama, yang merupakan dasar (pokok) dari setiap agama yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah SWT :

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِ...
“Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu ,’Tegakkan agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya. (QS Asy Syuura : 13)

Jadi agama yang terdapat dalam ayat di atas adalah dasar/pokok agama (ashlud diin), yakni aqidah. Akan tetapi syari’at mereka tidak sama, karena ayat tersebut telah ditakhsis (dikecualikan) oleh firman Allah SWT :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al Maa`idah : 48)

Kedua, Aspek Hukum Syara’. Allah SWT telah mengutus Muhammad SAW sebagai penutup para nabi kepada seluruh umat manusia, dimana mereka semua dituntut untuk meninggalkan agama-agama mereka --baik samawi maupun bukan-- dan mengambil Islam sebagai agama mereka. Barangsiapa yang memenuhi tuntutan ini, berarti telah masuk Islam, sedang yang tidak memenuhinya, berarti telah kafir. Allah SWT berfirman :

وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَاْلأُمِّيِّيْنَ ءَ أَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ اْلبَلاَغُ وَاللهُ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi Al Kitab dan orang-orang yang ummi,’Apakah kalian (mau) masuk Islam)? ’Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hanba-Nya.”
(QS Ali ‘Imraan : 20)

Allah SWT berfirman :

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ. رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ...
“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad)...” (QS Al Bayyinah : 1-2)

Jadi, orang-orang Ahli Kitab dan musyrik itu tidak dapat dikatakan meninggalkan kekufuran, kecuali dengan cara masuk Islam, yakni mengikuti agama Muhammad SAW. Selain itu Rasulullah SAW juga pernah bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أَحَدٌ مِنْ هذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat manusia ini, baik dia Yahudi maupun Nashrani, lalu dia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Walhasil, seluruh umat manusia telah diseru untuk memeluk Islam. Siapa saja yang tidak mau memeluk Islam setelah diajukan hujjah baginya, berarti dia secara pasti adalah orang kafir. Orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, jika mereka tetap saja menganut agama mereka masing-masing, maka mereka adalah orang-orang kafir, menurut nash Al Qur`an. Haram hukumnya mensifati mereka sebagai muslim. Barang siapa beri’tiqad bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen --serta penganut agama lain selain mereka-- adalah orang-orang muslim, sungguh dia telah kafir. Karena dengan i’tiqadnya itu dia telah mengingkari nash-nash syara’ yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti maknanya). Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia termasuk penghuni neraka.

Ketiga, Perbincangan Tentang Anak-Cucu Ibrahim AS. Sebenarnya perbincangan ini menyeru kepada ikatan kebangsaan (rabithah qaumiyah), yang pada faktanya merupakan ikatan yang emosional dan ber-mutu rendah, yang lahir dari naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa). Ikatan ini tidak manusiawi, sebab tidak layat untuk menjadi pengikat seorang manusia dengan manusia lain tatkala keduanya berbeda dalam hal asal keturunan (nasab).
Ikatan anak-cucu Nabi Ibrahim AS telah terhapus oleh jaman, tidak ada lagi faktanya dalam kehidupan, sebab orang-orang yang bernasab kepada Ibrahim dan keturunannya telah bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain, dikarenakan hubungan perkawinan, per-gaulan, imigrasi, dan peperangan. Maka kini sangat sulit, bahkan mustahil, membedakan mereka dari manusia yang lain. Di samping itu, para pengikut ketiga agama tersebut berasal dari segala bangsa dan suku yang ada di dunia, yang masing-masing telah terintegrasi atas dasar agama, bukan atas dasar asal usul keturunan. Maka dari itu, sebutan “Anak-Cucu Ibrahim” untuk orang-orang Islam, Yahudi, dan Kristen, juga untuk orang-orang yang tinggal di sekitar Masjidil Aqsha atau yang lainnya, adalah sebutan yang gegabah, serampangan, lagipula tidak benar. Maksud sebenarnya adalah untuk memerangi Islam, menjustifikasi proses perdamaian yang dipaksakan, serta meligitimasi pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi yang bercokol di tanah kaum muslimin yang dirampas. Semua ini adalah dalam rangka memberikan legalitas terhadap tindakan kriminal yang sangat menjijikkan yang telah diperbuat oleh para penguasa yang berkhianat atas dasar suruhan para majikan mereka yang kafir.
Ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan (rabithah usriyah), seperti halnya ikatan anak-cucu Ibrahim AS, tidak dibenarkan oleh syara’ untuk dijadikan asas pengaturan interaksi di antara manusia. Allah SWT berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْا حَتّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الفَاسِقِيْنَ
“Katakanlah,’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At Taubah : 24)

Jelaslah bahwa perintah Allah SWT, lebih tinggi kedudukannya daripada ikatan kebangsaan atau ikatan kekeluargaan, atau aspek kemanfaatan. Allah SWT telah menjelaskan kepada para nabi sebelumnya mengenai le-mahnya ikatan-ikatan seperti itu. Allah SWT berfirman:

وَنَادَى نُوْحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ:رَبِّ إِنَّ ابْنِيْ مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ: يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ...
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ’Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ’Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan disela-matkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” (QS Huud : 45-46)

Allah SWT berfirman mengenai Ibrahim AS :

قَالَ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قاَلَ: لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ
“Allah berfirman, ’Sesungguhnya Aku akan menjadi-kanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ’(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ’Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS Al Baqarah : 124)

Ayat di atas menerangkan, bahwa anak Nabi Nuh AS dalam pandangan syara’ bukanlah termasuk keluarganya, sebab dia tidak beriman dengan risalah yang diturunkan Allah kepada ayahnya. Demikian pula, orang-orang zhalim dari keturunan Nabi Ibrahim AS dikecualikan dari janji Allah untuk mendapat kepe-mimpinan, sebab mereka tidak mengikuti risalah yang diturunkan Allah kepada Bapak mereka, Ibrahim AS.
Oleh sebab itu, propaganda ide “Anak-Cucu Ibrahim AS” saat ini sesungguhnya adalah propaganda jahiliyah yang bersifat politis dan sangat tendensius. Haram hukumnya menyerukan dan mempromosikan ide ini, sebab maksud hakiki dari ide itu adalah untuk memerangi Islam, memalingkan kaum muslimin dari agamanya, menjustifikasi proses perdamaian yang khianat dengan Yahudi yang kafir, menyerahkan kepada mereka bumi Palestina yang mereka jarah, mengesahkan hubungan diplomatik dengan mereka, serta menerima eksistensi negara Israel di Timur Tengah.

ABU IBRAHIM said...

Serangan barat terhadap Islam !!!